There will always be a special bond betweenfather and son Ketika kecil, saya punya jurus rahasia. Jika ibu takmengizinkan saya untuk membeli sesuatu, saya akan mendatangi ayah; membujuknyadengan mengatakan bahwa anak-anak lain sudah memiliki apa yang saya inginkan.Tidak seperti ibu yang penuh pertimbangan dalam membeli sesuatu, ayah akansegera mengizinkan saya: Mengeluarkan dompet, memberi saya uang, danPergilah! Beli dua kalau perlu! katanya.
Menginjak usia remaja, semua tentang ayahmenjadi menyebalkan. Seperti anak laki-laki kebanyakan, saya dan ayah banyakberselisih paham. Bagi saya, ayah selalu terlalu kolot untuk hidup di zamanmodern. Bagi ayah, saya selalu terlalu kecil dan manja. Kenyataannya, dalamkepala saya yang terlalu besar, bayangan tentang ayah selalu tentang sindiran,ketidakpuasan, tuntutan, dan apa saja yang menyebalkan. Demikianlah, saya telahmelupakan semua jurus rahasia saya untuk ayah, Pergilah! Tumbuhlah menjadidewasa! katanya.
Hingga saatnya saya harus pergi dengan sisadendam di hati. Tetapi memang harus diakui, saya akan pergi dengan uang yangdiberikan ayah: Bekal yang cukup, telepon genggam, sikat gigi, barang-barangyang terlanjur saya akui milik saya sendiri. Tiba-tiba kepala saya yang terlalubesar, mengempis dan membuat saya menangis. Dendam saya mencair. Tinggal ayahberdiri di muka pintu, Pergilah! Nanti ayah akan menengokmu! katanya.
Di hari kelulusan saya dari universitas, ayahmenepuk-tepuk pundak saya. Perjuangan baru saja dimulai, katanya. Ketika itu,saya tidak merasa terlalu bangga dengan kelulusan saya. Saya melihat setelanayah yang rapi, perhiasan ibu, mobil yang mengantar kami ke gedung tempatwisuda, dan saya sendiri yang berdiri gagah dengan toga. Ayah sudah sejauh inimenjalani hidup, pikir saya. Dan seketika saya merasa setuju dengan semua yangdikatakannya beberapa saat yang lalu, perjuangan baru saja di mulai.Tiba-tiba, apa yang telah dicapai ayah menjadi model kesuskesan saya di masadepan. Minimal saya harus bisa seperti ayah, demikian batin saya. Pergilah!Ayah akan selalu mendoakanmu! katanya.
Pada saatnya, saya membawa seorang gadis untuksaya nikahi. Saya meminta pendapat ayah dan ayah menyetujuinya. Saya memeluknyadan berterima kasih. Lalu ayah menjadi sibuk dengan persiapan-persiapan:gedung, undangan, catering, dan lainnya. Telepon genggamnya tak pernah berhentiberdering. Ketika mematut diri di depan cermin, mencoba jas baru, dan bersiapmenuju lokasi pemotretan pranikah, saya terdiam mendengar percakapan Ayah yangsedang meminjam sejumlah uang untuk melengkapi persiapan pernikahan saya. TapiPergilah! Ayah bahagia untuk membuatmu bahagia! katanya.
Di hari pernikahan, saya memperhatikan ayahyang jadi pendiam. Ribuan pertanyaan berkecamuk di kepala: Bisakah saya menjadilaki-laki tanpa dirinya? Bisakah saya menjadi suami yang bertanggung jawabseperti dirinya? Bisakah saya menjadi ayah yang bertanggung jawab sepertidirinya? Bisakah saya membangun hidup saya sendiri tanpa dirinya? TapiPergilah! Sampai kapanpun, aku tetap menjadi ayahmu! katanya.
Kini, saya memandang ayah yang sedang bermainbersama anak sayacucunya. Tiba-tiba terasa, semua yang pernah dan terus iaberikan sebagai ayah, kini ada dan membentuk diri saya. Tiba-tiba, semuakenangan antara saya dan ayah menyerang saya dari dalam: mainan pertama,seragam sekolah pertama, sepeda motor pertama, tamparan pertama, pelukanpertama, dan segala hal yang telah membangun batu-bata kehidupansayamengantarkan saya menjadi dewasa.
Demikianlah, akan selalu ada ikatan khususantara seorang ayah dan anak: Dialah ayah saya ketika kecil, remaja, dewasa,dan tetap akan menjadi ayah saya untuk selama-lamanya